Sarasehan Interaktif Badan Peradilan Umum (Perisai Badilum) Episode ke-7 Pemidanaan dalam Paradigma Baru: Pedoman Pemidanaan dan Alasan Penghapus Pidana dalam KUHP Nasional
Gorontalo, 20 Juni 2025 — Dalam rangka meningkatkan pemahaman mengenai substansi dan arah kebijakan hukum pidana nasional yang baru, Mahkamah Agung RI menyelenggarakan kegiatan diskusi hukum bertajuk “Pemidanaan dalam Paradigma Baru: Pedoman Pemidanaan dan Alasan Penghapus Pidana dalam KUHP Nasional” secara daring melalui Zoom Meeting. Kegiatan ini diikuti oleh 416 satuan kerja dari seluruh Indonesia.
Sebagai narasumber, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D.—Guru Besar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia—menyampaikan berbagai perubahan fundamental dalam KUHP baru yang mencerminkan pergeseran paradigma menuju pemidanaan yang lebih adil, manusiawi, dan kontekstual.
Acara ini turut dihadiri oleh Ketua Pengadilan Tinggi Gorontalo YM Dr. Yapi, S.H., M.H., para Hakim Tinggi, Hakim Ad Hoc Tipikor, serta panitera Pengadilan Tinggi Gorontalo.
Dalam paparannya, Prof. Harkristuti menjelaskan bahwa KUHP baru tidak lagi membedakan antara kategori “kejahatan” dan “pelanggaran”. Sistem pemidanaan kini berlandaskan pada prinsip keadilan substantif, dengan memberikan ruang yang lebih luas bagi pertimbangan sosial, psikologis, dan nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law). Hal ini termasuk kewenangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana melalui mekanisme judicial pardon, khususnya dalam perkara ringan.
Selain itu, KUHP baru mengedepankan alternatif pemidanaan, seperti kerja sosial, pengawasan, serta tindakan rehabilitatif, guna mengurangi overkapasitas lembaga pemasyarakatan dan memberi efek korektif yang lebih konstruktif bagi pelaku.
Materi juga menyoroti pentingnya pengaturan alasan penghapus pidana, yang dibagi menjadi dua kategori: alasan pembenar—yang menghapus sifat melawan hukum (misalnya pembelaan terpaksa, perintah jabatan yang sah), dan alasan pemaaf—yang menghapus kesalahan pelaku (misalnya karena daya paksa, disabilitas mental, atau usia anak di bawah 12 tahun). Pengaturan ini memperkuat prinsip kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia dalam proses peradilan.
Dengan pendekatan yang lebih progresif, KUHP baru tidak hanya selaras dengan perkembangan hukum pidana modern dan standar internasional, tetapi juga mengakui keberadaan nilai-nilai lokal sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Oleh karena itu, diperlukan sinergi lintas lembaga, pelatihan berkelanjutan bagi aparat penegak hukum, serta peran aktif akademisi dan masyarakat dalam mengawal implementasi kebijakan ini.